Hijab Gone Wrong?
Recently, saya blogwalking ke blognya mbak CrystalJude’s. Salah satu postingan yang menarik adalah Hijab Gone Wrong. Tulisan ini menarik, karena mbak Crystal Jude’s
ini seorang kristiani yang memberikan pendapatnya mengenai fenomena Hijabers di
Indonesia. Bagi yang belum baca, silahkan klik di sini.
Setelah baca tulisan itu, sempatin juga ngebaca tulisan mbak
Crystal Jude’s yang memberikan feedback
dari komentar-komentar pembacanya di sini.
Okay. Gara-gara tulisan ini, saya jadi pengen memberikan
pendapat saya mengenai tulisan mbak Crystal Jude’s serta fenomena hijab yang
ada di Indonesia.
Hmm.. Sebaiknya saya mulai dari tulisan mbak Crystal Jude’s aja ya.
Saya sangat menghargai pendapat mbak Jude’s tentang tren hijab di Indonesia, apalagi mbak ini mencoba mengaitkan hijab tersebut dengan kesan kesucian agama, hakikat untuk berhijab itu sebaiknya seperti apa, dan sebagai macamnya lah.
Komentar saya yang pertama, fenomena hijab ‘yang kerasa banget’ itu nggak cuma di rasain oleh mbak Jude’s sendiri kok. No hard feeling ya mbak, if you talk about something in Indonesia, I propose you to not to label your self as a minority in Indonesia. Like you said were binheka tunggal ika, so jangan pake minoritas mayoritasan. Kita satu hehe.
Saya ingin mengutip lagi sesuatu yang di percaya mbak Jude’s di tulisannya yang kedua tentang feedback postingan hijab: “Agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu”. Menurut saya kutipan yang di pakai oleh mbak Jude’s ini malah merusak semua isi tulisannya. Ini bumerang bagi tulisannya sendiri. Kenapa? Karena Muslim memahami kata-kata itu kurang lebih kaya gini: Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Ya urus lah agamamu sendiri, jangan ngurusin agama orang lain.
Padahal sebelumnya, I was fine dengan tulisan mbak Jude’s yang pertama haha. Saya bukannya nggak terima dengan pendapatnya mbak Jude’s. Malah saya sebagai muslim merasa di sadarkan oleh mbak Jude’s (ntar malah ada yang bilang saya orang yang nggak multiciltural, yang nggak terima kalau mendapat kritik dari non muslim haha). Tapi.. Memang begitulah mbak Jude’s, bagaimana kata-kata tersebut di pahami oleh kebanyakan orang. Jadi ini semacam koreksi kali ya bagi mbak Jude’s.
Trus, saya sangat setuju dengan mbak Jude’s kalau fenomena hijab ini akan ada dampak positif dan negatifnya. Bukan cuma fenomena hijab aja, tapi apa pun itu pasti ada dua hal itu. Yang menjadi concern saya disini adalah asumsi mbak Jude’s dan orang-orang tentang wanita yang berhijab. Misalnya seperti kata mbak Jude’s yang begini:
Maafkan gue, tapi gue masih berpikir bahwa lo pake hijab kalo lo merasa siap. Siap untuk apa? Siap untuk berpakaian sederhana, siap untuk nahan diri pamer badan lo ke masyarakat, siap untuk menjalankan hidup yang nggak sepenuhnya duniawi. Bahasa gampangnya? Siap mengerem diri pake celana skinny jeans dan baju ketat. Siap menolak kalo ditawari ngerokok atau minum. Kalo di agama Katolik, gue menganalogikan cewek yang siap pake hijab itu kayak cewek yang memutuskan untuk jadi biarawati.
Biar enak saya breakdown pendapat saya satu-satu ya:
Saya nggak perlu membawa dalil-dalil ayat Al-Qur’an ataupun Hadits, tapi saya yakin semua muslim bahkan beberapa non-muslim tahu, bahwa bagi muslim, menutup aurat bagi laki-laki dan wanita itu hukumnya wajib. Mau siap atau pun nggak siap ya muslim itu harus nutup aurat. Tinggal balik ke diri masing-masing orangnya, mau ngejalanin aturan agama atau tidak.
“Siap untuk berpakaian sederhana, siap untuk nahan diri pamer badan lo ke masyarakat, siap untuk menjalankan hidup yang nggak sepenuhnya duniawi.” Kesan yang saya dapat dari tulisan itu, buat yang nggak hijab-an ya sah sah aja nggak berpakaian sederhana, hidup hedon, dan menjalani hidup duniawi. Ya ga? Mungkin, mbak Jude’s dan beberapa orang cuma ‘risih’ aja ngeliat beberapa hijabers yang “lebay bergaya” (kaya lirik GAC the Op Op Song *abaikan*), dan itu sih menurut saya wajar. Jangan langsung ke judge bahwa semua hijabers itu lebay dan merusak nilai islam. Banyak juga kok yang non hijab gayanya lebay, yang kadang terlihat norak, dengan baju dan hot pant yang mereka pakai. Namun anehnya malah di apresiasi sebagai sesuatu yang high fashion atau apa lah itu namanya. Kenapa yang hjabers nggak bisa di apresiasi.
Kalau saya pribadi, melihat cewek itu ya cewek. Mau berhijab atau nggak. Equal. Jadi saya mewajarkan hijaber dengan gaya punduk unta atau apa lah namanya yang saya juga nggak ngerti dengan gaya, warna, bentuk beragam layaknya saya mewajarkan cewe-cewe yang nggak jilbaban yang suka fashion dengan bergaya pop, hipster, urban, dsb. Gaya orang kan macam-macam, jadi biasa sih bagi mbak Jude’s kalau ngelihat orang hijab tampilannya jadi kaya sarang lebah. Saya juga awalnya juga heran kok lihat style orang-orang pop yang menurut saya mereka juga berpakaian aneh, tapi kesini-sini saya sadar kalau itu gaya mereka dan it’s fine.
Cewek-cewek hijabers itu juga cewek dan manusia, dan lebih hebatnya lagi mereka sedang berjuang untuk menjalankan perintah agama, dan saya yakin pasti susah banget berkomitmen untuk berhijab. Banyak halangan dan rintangannya. Tapi mereka juga manusia abad ke 21 yang mungkin pengen narsis juga, pengen selfie juga, pengen terlihat cantik, dsb. So jauh-jauhin lah asumsi bahwa orang yang mengenakan hijab itu harus malu, jaim, kolot, dsb. Mereka sama aja kaya manusia lainnya, pengen berekspresi juga.
Kalau kata mbak Jude’s “kesan kesucian agamanya hilang karena hijab yang dimodel-modelin”. Hmm.. Agama itu pasti suci. Jangan nilai suatu agama itu dari bagaimana si manusia menjalankan agamanya. Mau bagaimana perlakuan si manusia, agama itu tetap suci.
Kekhawatiran mbak Jude’s, ntar takutnya malah hijab yang ada malah nggak sesuai dengan norma-norma islam yang ada. Kalau saya simply say lebih baik mereka berhijab dulu mau gimana pun gayanya, dari pada nggak sama sekali. Mudah-mudahan seiring dengan berjalannya waktu, mereka mendapatkan hidayah untuk berhijab sesuai dengan norma agama. Saya yakin, pasti ada kok dari dalam umat islam nya sendiri yang memperjuangkan / terus mengkampanyekan untuk terus berhijab syar’i. So,’ agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu’.
Sedikit tentang hijab, menurut saya hijab itu udah ada dari
dulu. Ada yang kenal dengan pahlawan ini:
Namanya Rahmah el-Yunusiyyah, pendiri pondok pesantren
Diniyah Putri di Padang Panjang, Sumatera Barat. Gaya jilbab yang digunakannya
itu namanya lilik (bahasa indonesianya lilit) -
mungkin kalau gaya hijabers sekarang namanya hijab lilit (barusan
googling hahaha). Rata-rata pesantren dan madrasah di Sumatera Barat itu pake lilik.
Waktu saya SMA di Sumatera Barat, jujur saya awalnya agak
kaget dengan gaya jilbab yang di kenakan oleh siswi-siswi madrasah ataupun
pesantren disini. Ya gayanya gaya lilik itu. Gaya itu udah ada dari dulu
ternyata.
Jadi gaya para hijabber itu bukan hal yang baru di
Indonesia, tapi udah lamaaa banget. Cuma baru booming sekarang.
Sekian dulu tulisan saya. Tidak ada maksud apa-apa selain
ingin beropini. Kalau ada salah maafin ya, namanya juga opini. And feel free to
comment :) Terimakasih
sudah mampir. Wallahu a’lam.
Luar biasa abang kita ini (y) :D, bisa ni diajarin bwat blog kece ini.
ReplyDeleteMonggo dikunjungi blog saya allaboutchachan.blogspot.com hehe
Sayangnya blognya sdh dihapus. Padahal pengen baca langsung :(
ReplyDelete