Membelah Danau Toba

8:07 PM Andri 0 Comments

Rintik-rintik hujan menemani perjalanan kami dari pusat kota Balige menuju pelabuhan Ajibata di Parapat, setelah puas Belajar Batak dari Balige. Kembali, kami menikmati perbukitan, pedesaan, persawahan, perkebunan, dan perjalanan sambil memandang genangan air Toba yang tampak bahagia menyambut tetesan-tetesan deras air karunia tuhan. Ini masih pada hari yang sama dengan hari dimana kami Mengejar Matahari ke Barat.
Untuk bisa mencapai pulau Samosir, pulau yang ada di tengah danau Toba, kami harus mebelah danau menggunalan kapal feri atau kapal Roro. Sesampainya di pelabuhan, ternyata antreannya sangat panjang. Kami harus menunggu lama, sampai hujan pun bosan dan langit berhenti menangis, barulah kuda besi kami dan puluhan lainnya mendapatkan giliran untuk menaiki ikan paus besi lebar dan ngambang itu.
Gambar 1. Penerangan Kapal Feri Toba - Samosir di Malam Hari
Ada hal yang menarik perhatian semua pengguna jasa feri saat itu. Eh, saya rasa bukan saat itu saja. Sepertinya hal ini terus terjadi. Banyak bocah-bocah lokal yang mencari uang jajan tambahan di dermaga, namun dengan cara mereka.
Pertama, belasan bocah bugil nyemplung di sekitaran danau. Mereka berenang heboh, sangat heboh. Bersorak sorai meminta kepada penumpang untuk melempari uang ke dalam air agar mereka selami sang danau untuk menggenggam logam-logam bulat itu. Setiap ada lemparan uang, mereka menyelam kebawah, lalu mencuat lagi ke permukaan. Bagi yang berhasil mendapatkan uangnya akan berteriak senang, sendangkan yang tidak, tetap berteriak meminta penumpang kapal untuk melemparkan uang yang lainnya. Mereka menyelam, lalu muncul kepermukaan. Begitu seterusnya, macam teh celup yang sedang dicelup-celupkan. Pengunjung pun terus meronggoh kantongnya karena eforia bahagia dan semangat bocah-bocah cilik itu. 
Gambar 2 dan 3. Pengunjung Mendokumentasikan Bocah Cilik Celup
Kedua, melalui suara emas mereka. Tahu kan? Kalau tidak pandai bernyanyi bukan orang Batak namanya. Beberapa cilik yang tidak nyemplung pun menawarkan suaranya dengan sopan kepada penumpang. Mereka akan bernyanyi kalau diizinkan terlebih dahulu. Sopan sekali. Lirik-lirik batak pun akhirnya di lantukan dengan deras dan merdu oleh mereka, melawan teriakan para bocah celup dan suara aktifitas pelabuhan. Suara mereka tetap menang. Menambah kesyahduan suasana senja saat itu.
Gambar 4. Bocah Batak dengan Suara Emasnya
Ketiga, pedagang. Kalau ini standar, sama saja dengan pedagang asongan yang biasa ditemukan di angkutan atau tempat umum. Namun bocah cilik yang menjajakan makanan tidak seberapa. Kebanyakan orang yang lebih dewasa. Mungkin kebanyakan yang dijajakan adalah buat orang dewasa, yaitu tuak. Ada kopi, teh, dan beberapa minuman saset juga sih, beserta telur asin. Saya waktu itu membeli telur asin dan kopi hitam. Lumayan buat menghagatkan badan di tengah hembusan angin malam toba.
Gambar 5. Pemandangan Parapat dari Tengah Danau Toba Menjelang Malam
Mobil kami bisa menginjak pulau samosir, setelah tiga jam lebih perjalanan di danau dan antrean masuk dan keluar kapal. Lumayan lama. Tapi ada untungnya juga antrean yang membuat hujan tadi reda. Kami bisa mendapatkan euforia senja dermaga Ajibata ini. Kalau hari hujan? Kami tidak yakin akan ada bocah-bocah celup dan pengamen itu. Kalau hujan bocah celup tidak bisa teriak, dan kalau hujan penumpang akan menunggu dari dalam mobil atau dari tempat duduk. Tapi entahlah. Haha.
Gambar 6. Saya, Eca dan Puluhan Kendaraan Lainnya

Selamat Berkelana, Semoga Kita Bersua

0 komentar: